Wednesday, July 24, 2013

Meriam Karbit


Dulu ada satu kebiasaan khas yang selalu saya lakukan saat ramadhan. Bersama sekumpulan anak remaja tanggung. Saat itu saya masih seusia mereka juga. Belum 17 tahun. Kebiasaan yang sudah menjadi tradisi sejak kami pindah menjadi penghuni wilayah gampong peurada.

Waktu itu, rumah-rumah masih jarang. Pohon jambu di depan rumah masih tegak berdiri. Bila memanjat sampai ke puncaknya, bisa memandang jauh hingga melihat laut diujung pandangan. Masih banyak tanah kosong. Rumah-rumah pun hanya berpagar kawat atau tanaman.

Saat ibu-ibu mulai mengolah daging meugang, kami para anak-anak mulai mengolah menu utama yang akan kami sajikan selama ramadhan. Sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum ramadhan, dengan mengandalkan semangat gotong royong dan bayangan kemeriahan yang akan kami dapatkan, bergantian membentuk kelompok, kami pun menggotong pipa beton yang biasanya digunakan untuk membuat gorong-gorong atau parit.

Tujuannya adalah sepetak luas tanah berbukit dan berawa-rawa, yang dipenuhi Typha Latifolia, tanaman rawa yang biasa kami sebut dengan Batang Obor atau cukup dengan Obor. Mengarungi rawa dengan air yang kadang sepinggang, berhati-hati menghindari binatang penghuni rawa, hingga akhirnya sampai ke tujuan.
Bukit di tengah-tengah rawa. Bukit kecil setinggi hanya 3 meter.

Pekerjaan belum selesai, kami menggali bagian puncak bukit itu, tidak dalam, hanya sekitar setengah meter. Dibuat sedemian rupa sehingga miring dan dalam disatu sisi saja. Gunanya untuk landasan meletakkan pipa beton tadi. Setelah pipa diletakkan, bentuknya mengingatkan akan meriam rakitan tempo doeloe. 
Dan memang, kami sedang membuat meriam, namanya Meriam Karbit.

Seperti meriam masa lalu, umpan 'bahan peledak'nya dimasukkan dari depan. Karbit sebenarnya termasuk bahan berbahaya, digunakan untuk pembuatan Gas Acetylene (C2H2), yaitu bahan untuk memotong dan mengelas bahan-bahan besi dan baja pada industri perkapalan, pertambangan, karoseri mobil serta industri kecil. Tapi mungkin tidak dianggap terlalu berbahaya. Karena kami dengan mudah bisa membelinya di toko bahan bangunan.

Karbit dimasukkan pada kaleng berisi air, yang sudah diberi tangkai kayu. Penampung karbit itu lalu dimasukkan lagi kedalam meriam, yang kemudian bagian depannya disumbat dengan kain, untuk memampatkan gas yang dihasilkan dalam meriam. Sebuah lubang kecil yang dibuat dibagian belakang meriam juga disumbat kain, untuk mencegah gas yang terbentuk merembet keluar.

Setelah menunggu beberapa detik, agar tekanan gas dalam meriam semakin kuat, yang bertugas menyalakan meriam mengambil obor dengan api menyala. Sambil menghitung agar serentak, kain penyumpal di depan dan belakang ditarik, api didekatkan ke lubang kecil di belakang. BOOOOMMM.

Ledakan membahana keluar, seperti meriam benaran. 

Saat malam ramadhan selepas tarawih, suara ledakan meriam itu sambung menyambung. Bersahut-sahutan antar kampung.  Tak terlalu lama, karena kemudian harus tadarus di meunasah atau mesjid. Kadang juga dinyalakan disore hari. Mengisi waktu menunggu berbuka.

Saat konflik bersenjata di Aceh mulai meningkat, kebiasaan menyalakan meriam karbit ini menghilang. Dentuman ledakan meriam karbit, tak lagi terdengar. Karena suara ledakan saat itu biasanya berarti granat atau tembakan ketika kontak senjata terjadi. Meskipun sekarang perjanjian damai sudah berbilang tahun ditandatangani. Sebahagian mereka yang berperang kini menjadi anggota dewan. Namun dentuman meriam karbit sudah tak terdengar lagi. Entahlah di kampung-kampung, mungkin masih. Namun di kota sudah tak lagi ada.

Memang, meriam karbit bukan permainan tanpa bahaya, malah beresiko tinggi. Api ledakan yang meyembur bisa-bisa menghilangkan rambut atau alis, bahkan bukan tak mungkin menimbulkan luka bakar. Tapi itu permainan kami dulu. Resikonya tidak terlalu dipikirkan saat itu, kegembiraan dan kepuasan yang lebih diharapkan.

Sekarang, suara ledakan meriam karbit sudah diganti petasan mahal. Dunia modern melibas sedikit demi sedikit masa lalu, mengikis hingga terlupakan dan hilang. Anak-anak remaja lebih jago main playstation atau x-box, atau futsal. Tak lagi ada dalam perbendaharan permainan mereka, nama-nama eksotis seperti Patok Lele, Engkrang, Galah Panjang, Alib Batalion Tin, main Godok.

Bukit kecil kami, sudah menjadi halaman asrama haji kota Banda Aceh. Lapangan luas sudah jadi perumahan. Pohon jambu di halaman rumah pun sudah lama mati terkena air tsunami tahun 2004.
Dunia itu, dunia masa lalu. Tapi jujur saja, walaupun sebagian ada yang mengatakan kampungan, bagi saya itu retro. Dalam definisi saya sendiri tentang retro, yaitu jadul tapi keren.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search